http://kamilrafi.blogspot.com/2013/02/sejarah-g30s-pki.html

KENAPA HARUS KARTINI ?

Assalamualaikum! Hari ini tanggal 21 April. Setiap hari ini kita memperingati hari kartini,yaitu seorang tokoh yang memperperjuangkan Emansipasi Wanita.
Kenapa harus R.A Kartini?

Mengapa setiap 21 April,bangsa Indonesia memperingati hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?



Pada dekade 1980-an,guru besar Universitas Indonesia,Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritis pengkultusan R.A Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988,masalah ini kembali menghangat,mejelang peringatan Hari Kartini 1988. Ketika itu akan diterbitakan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P Jacquet.

Tulisan ini bukan menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positiv yang bisa diambil dari kehidupan Kartini. Tapi,kita bicara tentang Indonesia,sebuah negara majemuk. Maka,sangatlah penting untuk kita berfikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. "Jangan sekali-kali melupakan sejarah" kata Bung Karno.

Banyak yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Budi Utomo? Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam organisasi nasional pertama? 
Mengapa Ki Hajar Dewantara? Mengapa bukan K.H Ahmad Dahlam untuk menyebut tokoh pendidikan?

Kini,kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya,kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak lepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabatnya di Eropa, Door Duisternis tot Licht,yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan semasa era Politik etis oleh Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai Grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka,saat itu,tidak ada wanita yang berpikiran sekrtis itu dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya yang berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika dan Rohana Kudus. Mereka melakukan yang lebih dari Kartini. Dewi Sartika bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri dibandung dan luar Bandung. Rohana kudus melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Kerajinan Amai Setia dan Rohana School, Rohana bahkan menjadi jurnalis sejak di Padang sampai ia ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama dinegeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang ber inisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiranpikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fa -timah dari Aceh, klaim-klaim ke terbe lakang an kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus menda -pat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia..., mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong tak dir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?

Ditulis oleh Tiar Anwar Bachtiar (INSISTS)